Lampung Selatan bukanlah tempat yang begitu menarik untuk disimak apabila kita tidak punya referensi yang baik tentang daerah ini. Kali ini saya hanya mengunjungi sedikit dari beberapa potensi besar yang sebenarnya dimiliki oleh bagian dari Provinsi Lampung yang juga dikenal sebagai Jawa Utara.
Dari atas kapal ferry, menuju Pelabuhan Bakauheni terlihat sebuah tugu yang mencolok mata karena warnanya yang kuning campur merah. Pemerintah lokal membangun sebuah titik baru di selatan bernama Tugu/Monumen Siger. Apakah Siger? Tahukan mahkota dikepala pengantin putri Lampung? Nah bentuk itu disebut Siger dan segera menjadi ikon penting bagi Lampung selain tentunya gajah dan kain tapis.
Waduh, bilangnya 10 kilometer, ternyata 14 kilometer. Kampung dimana prasasti itu ada bernama Palasan. Ada sebuah masjid pink (warna itu lagi!) bersebelahan dengan jalan kecil menuju prasasti. Didalam masjid yang kosong saya shalat. Ada daftar piket masjid untuk anak-anak kampung. Kondisi ini agaknya akan sangatsulit ditemui di perkotaan besar dimana saya tinggal. Lalu dengan langkah singkat saya menembus kampung dan menuju jalan menurun menuju prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya itu.
Hebat! Warga Kampung Palasan menjaga prasasti itu seakan sebagai salah satu monumen penting disini. Tapi saya kecewa karena pintu masuk menuju prasasti ini digembok. Mungkin untuk menjaga agar tidak ada yang mncuri salah satu aset sejarah negeri ini ya. Dari luar saya tidak menemukan papan informasi tentang "Siapa yang membangun prasasti, apa isinya dalam bahasa Indonesia (karena menggunakan aksara palawa), atau sejarah singkat tentang prasasti ini. Setelah mencuri-curi melakukan foto di area yang rindang itu (sejuk banget!), maka saya memutuskan untuk kembali ke mobil.
Dari atas kapal ferry, menuju Pelabuhan Bakauheni terlihat sebuah tugu yang mencolok mata karena warnanya yang kuning campur merah. Pemerintah lokal membangun sebuah titik baru di selatan bernama Tugu/Monumen Siger. Apakah Siger? Tahukan mahkota dikepala pengantin putri Lampung? Nah bentuk itu disebut Siger dan segera menjadi ikon penting bagi Lampung selain tentunya gajah dan kain tapis.
Tugu Siger dikatakan akan menjadi sebuah atraksi wisata baru dipintu gerbang paling selatan Sumatera. Pada malam hari maka akan ada lampu sorot yang akan menerangi tugu sehingga terlihat sangat cantik. Namun, menurut keterangan seorang sahabat yang tinggal dan bekerja di Bakauheni, masih ada sedikit konflik lahan atas tugu itu. Sang gubernur yang membangun tugu itu dengan tujuan membangkitkan ke-lampung-an dari Lampung, ternyata belum mencapai kata sepakat dengan PT.ASDP yang memiliki lahan tersebut. Diluar dari perlbagai masalah yang ada, memang Tugu Siger menjadi sebuah atraksi sendiri untuk Bakauheni, walaupun warnanya itu agak-agak gimana gitu.. he he
Saya tidak begitu banyak bermain di Bakauheni, karena tujuan utama adalah kota Kalianda. Kebetulan ibu dan bapak ingin bertemu dengan seorang kerabat yang tinggal disana. Perjalanan menuju ke kota ini tidaklah begitu jauh, mungkin 30 menit. Jalan ke arah Kalianda bisa dibilang tidak mulus namun tidak berlobang, mungkin lebih tepat bergelombang. Dikiri-kanan akan terlihat hamparan pertanian jagung, tanaman pisang, dan juga beberapa perkebunan rakyat yang terselingi padi. Dengan kontur berbukit, maka jalan yang dilatar belakangi Gunung Rajabasa itu menjadi cukup menyenangkan. I'm thinking road-trip! Yay! I like it!
Gunung Rajabasa sendiri bukan gunung biasa. Karena berdasarkan informasi yang saya terima, dahulu pahlawan nasional Raden Intan II sempat melakukan perlawanan dari sana. Bahkan bentengnya masih ada disana. Tidak heran, dalam perjalanan menuju ke Kalianda ada sebuah plang besar dari Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya yang menunjukkan arah ke makam sang pahlawan. Dari jalan utama berjarak kurang lebih 1.5 kilometer. Papan informasi ini dulu tidak ada, sekarang sudah ditancap. Good!
Hei! Saya sampai di kota Kalianda. Didepan pintu masuk Kalianda ada patung Raden Intan 2 berdiri tegak menjaga kota. Ada sebuah bangunan perniagaan aneh yang sepertinya baru dibangun dan tampak gagal balik modal, namanya KTC (Kalianda Trade Center???). Disana kerabat kami bekerja. Setelah berbicara sana-sini, kami masuk ke kota Kalianda.
Ketika masuk ke dalam kota, langsung saja nih disuguhi taman makam pahlawan dan monumen kemerdekaan. Lalu ada sebuah gedung baru (cukup menarik!) yang dikelilingi lapangan luas. Yang saya sukai dari kota kecil di luar Jawa adalah mereka benar-benar masih mempunyai tata-letak dan tidak saling berdempet-dempetan. Kalianda sendiri adalah sebuah kota kecil yang sepiiii, bahkan ketika hari sabtu pun seakan tidak ada yang mau keluar rumah. Tidak ada keriaan ala kota besar. Tapi kesunyian sebuah kota kecil menjadi sebuah daya tarik bagi orang-orang yang ngaku tinggal di kota. Di Kalianda terdapat beberapa jaringan bank yang sangat membantu, beberapa minimarket (alfa dan indomaret), dan ditengah kotanya ada semacam deretan ruko sederhana yang tidak sesemrawut apabila kitalihat di kota-kota Pulau Jawa.
Apabila ingin tahu apa yang bisa dilakukan di Kalianda, maka kita bisa mengunjungi Way Belerang. Tempat ini adalah sebuah pemandian air panas yang sepertinya mengalir dari Gunung Rajabasa (kayaknya sih, tapi entah deh!). DUlu, pas jaman SMA saya pernah berkunjung kesana. Tempatnya cukup rindang dan mungkin menjadi salah satu tempat berendam favorit warga kota.
Salah satu kuliner paling terkenal dari Kalianda adalah : OTAK-OTAK! Nyum! Kita kejarlah pengusaha otak-otak di kota ini. Hasilnya : HABIS! Sebegitu terkenalnya sampai ludes ditengah hari. Tapi ada secondline dari otak-otak ini yang letaknya masih di Kalianda namun sedikit ke atas gunung. Untung ada saudara yang tinggal disana maka bisa dikejar deh.
Rumah pembuat otak-otak itu mencolok sendiri. PINK! huhu! Mungkin dia yang paling kaya di kampung itu atas usaha otak-otaknya. Sekali lagi saya semakin percaya bahwa wanita memang lebih bisa dipercaya akan keterampilan berwirausaha daripada pria. I denno man, sepertinya mereka lebih unggul dan ulet dalam hal itu. Ibu penjual otak-otak itu contohnya.
Selesai dari otak-otak maka kita kembali menuju Bakauheuni untuk pulang dan sedikit reuni orang tua saya. Hey, tunggu dulu! Ada sebuah plang informasi yang menunjukkan arah ke Prasasti Batutulis.
Menurut papan informasi itu, jarak dari jalan utama menuju prasasti hanyalah 10 kilometer. Kita bisa melihat papan informasi itu dari arah Bakauheni menuju Bandar Lampung disebelah kanan jalan. Maka, kami masuk kedalam jalan kecil menerobos kebun dan desa-desan transmigran yang sepertinya sudah cukup lama menetap disana.
Saya tidak begitu banyak bermain di Bakauheni, karena tujuan utama adalah kota Kalianda. Kebetulan ibu dan bapak ingin bertemu dengan seorang kerabat yang tinggal disana. Perjalanan menuju ke kota ini tidaklah begitu jauh, mungkin 30 menit. Jalan ke arah Kalianda bisa dibilang tidak mulus namun tidak berlobang, mungkin lebih tepat bergelombang. Dikiri-kanan akan terlihat hamparan pertanian jagung, tanaman pisang, dan juga beberapa perkebunan rakyat yang terselingi padi. Dengan kontur berbukit, maka jalan yang dilatar belakangi Gunung Rajabasa itu menjadi cukup menyenangkan. I'm thinking road-trip! Yay! I like it!
Gunung Rajabasa sendiri bukan gunung biasa. Karena berdasarkan informasi yang saya terima, dahulu pahlawan nasional Raden Intan II sempat melakukan perlawanan dari sana. Bahkan bentengnya masih ada disana. Tidak heran, dalam perjalanan menuju ke Kalianda ada sebuah plang besar dari Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya yang menunjukkan arah ke makam sang pahlawan. Dari jalan utama berjarak kurang lebih 1.5 kilometer. Papan informasi ini dulu tidak ada, sekarang sudah ditancap. Good!
Hei! Saya sampai di kota Kalianda. Didepan pintu masuk Kalianda ada patung Raden Intan 2 berdiri tegak menjaga kota. Ada sebuah bangunan perniagaan aneh yang sepertinya baru dibangun dan tampak gagal balik modal, namanya KTC (Kalianda Trade Center???). Disana kerabat kami bekerja. Setelah berbicara sana-sini, kami masuk ke kota Kalianda.
Ketika masuk ke dalam kota, langsung saja nih disuguhi taman makam pahlawan dan monumen kemerdekaan. Lalu ada sebuah gedung baru (cukup menarik!) yang dikelilingi lapangan luas. Yang saya sukai dari kota kecil di luar Jawa adalah mereka benar-benar masih mempunyai tata-letak dan tidak saling berdempet-dempetan. Kalianda sendiri adalah sebuah kota kecil yang sepiiii, bahkan ketika hari sabtu pun seakan tidak ada yang mau keluar rumah. Tidak ada keriaan ala kota besar. Tapi kesunyian sebuah kota kecil menjadi sebuah daya tarik bagi orang-orang yang ngaku tinggal di kota. Di Kalianda terdapat beberapa jaringan bank yang sangat membantu, beberapa minimarket (alfa dan indomaret), dan ditengah kotanya ada semacam deretan ruko sederhana yang tidak sesemrawut apabila kitalihat di kota-kota Pulau Jawa.
Apabila ingin tahu apa yang bisa dilakukan di Kalianda, maka kita bisa mengunjungi Way Belerang. Tempat ini adalah sebuah pemandian air panas yang sepertinya mengalir dari Gunung Rajabasa (kayaknya sih, tapi entah deh!). DUlu, pas jaman SMA saya pernah berkunjung kesana. Tempatnya cukup rindang dan mungkin menjadi salah satu tempat berendam favorit warga kota.
Salah satu kuliner paling terkenal dari Kalianda adalah : OTAK-OTAK! Nyum! Kita kejarlah pengusaha otak-otak di kota ini. Hasilnya : HABIS! Sebegitu terkenalnya sampai ludes ditengah hari. Tapi ada secondline dari otak-otak ini yang letaknya masih di Kalianda namun sedikit ke atas gunung. Untung ada saudara yang tinggal disana maka bisa dikejar deh.
Rumah pembuat otak-otak itu mencolok sendiri. PINK! huhu! Mungkin dia yang paling kaya di kampung itu atas usaha otak-otaknya. Sekali lagi saya semakin percaya bahwa wanita memang lebih bisa dipercaya akan keterampilan berwirausaha daripada pria. I denno man, sepertinya mereka lebih unggul dan ulet dalam hal itu. Ibu penjual otak-otak itu contohnya.
Selesai dari otak-otak maka kita kembali menuju Bakauheuni untuk pulang dan sedikit reuni orang tua saya. Hey, tunggu dulu! Ada sebuah plang informasi yang menunjukkan arah ke Prasasti Batutulis.
Menurut papan informasi itu, jarak dari jalan utama menuju prasasti hanyalah 10 kilometer. Kita bisa melihat papan informasi itu dari arah Bakauheni menuju Bandar Lampung disebelah kanan jalan. Maka, kami masuk kedalam jalan kecil menerobos kebun dan desa-desan transmigran yang sepertinya sudah cukup lama menetap disana.
Saya merasakan sesuatu yang menarik dalam perjalanan menembus kampung melalui jalan kecil yang beraspal mulus itu. Suasana desa yang tidak pernah saya temui : sunyi dan damai. Beberapa anak kecil baru pulang dari masjid sambil berjalan kaki dan membawa tas kecil mereka. Damai sekali, tidak serusuh hidup yang saya jalani. Pepohonan hijau, rumput terawat, dan bunga membuat semuanya menjadi sangat amat .. ARGH!!!
Bangunan di kampung-kampung itu bercampur antara baru dan lama. Masih ada semacam rumah panggung yang terbuat dari kayu dan sebagian rumah bata. Masjid-masjid tua berdiri tegak dari kampung ke kampung. Jalan berkelok membuat petualangan ini semakin menarik.
Mereka berbahasa Jawa! Setidaknya itu tertangkap dari logat yang muncul dari lidah seorang bapak yang sangat ramah dan murah senyum ketika saya tanya
"Letak Prasasti Batutulis dimana ya?"
Satu yang harus diperhatikan di Lampung adalah nama-nama daerah yang mengkopi nama daerah di Jawa. Ini adalah hasil transmigrasi yang sudah diterapkan semenjak jaman Belanda dulu.
Mereka berbahasa Jawa! Setidaknya itu tertangkap dari logat yang muncul dari lidah seorang bapak yang sangat ramah dan murah senyum ketika saya tanya
"Letak Prasasti Batutulis dimana ya?"
Satu yang harus diperhatikan di Lampung adalah nama-nama daerah yang mengkopi nama daerah di Jawa. Ini adalah hasil transmigrasi yang sudah diterapkan semenjak jaman Belanda dulu.
Waduh, bilangnya 10 kilometer, ternyata 14 kilometer. Kampung dimana prasasti itu ada bernama Palasan. Ada sebuah masjid pink (warna itu lagi!) bersebelahan dengan jalan kecil menuju prasasti. Didalam masjid yang kosong saya shalat. Ada daftar piket masjid untuk anak-anak kampung. Kondisi ini agaknya akan sangatsulit ditemui di perkotaan besar dimana saya tinggal. Lalu dengan langkah singkat saya menembus kampung dan menuju jalan menurun menuju prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya itu.
Hebat! Warga Kampung Palasan menjaga prasasti itu seakan sebagai salah satu monumen penting disini. Tapi saya kecewa karena pintu masuk menuju prasasti ini digembok. Mungkin untuk menjaga agar tidak ada yang mncuri salah satu aset sejarah negeri ini ya. Dari luar saya tidak menemukan papan informasi tentang "Siapa yang membangun prasasti, apa isinya dalam bahasa Indonesia (karena menggunakan aksara palawa), atau sejarah singkat tentang prasasti ini. Setelah mencuri-curi melakukan foto di area yang rindang itu (sejuk banget!), maka saya memutuskan untuk kembali ke mobil.
Ternyata sang penjaga kunci a.k.a. kuncen tinggal dibagian depan gang menuju prasasti. Bergegas dia menggunakan bajunya. Tapi masalah utama dari orang ini adalah dia kurang punya banyak informasi tentang apa yang dia jaga. Dia cuma tahu bahwa tempat ini adalah prasasti untuk wisata atau ziarah.
"Banyak yang datang buat ziarah"
Tapi, si bapak punya fotokopian dari informasi mengenai prasasti itu. Sayangnya dalam bentuk yang tidak menarik. Didalam buku kecil tak berwarna itu ada translate-an dari apa saja tulisan di prasasti itu. Yes, emang benar kalau prasasti itu dari jaman Sriwijaya.
"Banyak yang datang buat ziarah"
Tapi, si bapak punya fotokopian dari informasi mengenai prasasti itu. Sayangnya dalam bentuk yang tidak menarik. Didalam buku kecil tak berwarna itu ada translate-an dari apa saja tulisan di prasasti itu. Yes, emang benar kalau prasasti itu dari jaman Sriwijaya.
Sayang sekali, dinas kepurbakalaan atau wisata tidak memberikan banyak informasi yang bisa dijadikan bahan bacaan tentang prasasti itu.
Kalau ke Lampung dan belum makan duren rasanya tidak pas. Dipinggir jalan banyak sekali penjual duren yang katanya langsung diambil dari hutan. Kami pun berhenti. BUSET! ENAK BANGET! Tiga duren yang saya menemukan bahwa tiap-tiap duren memiliki karakternya masing-masing. Duren pertama masuk dalam kategori mengkel-pahit-manis. Duren kedua Agak basah-kuning-manis-pahit. Duren ketiga bechek-bechek-manis-pahit.
Edun!! Parah! Harga @7500 tapi masih bisa ditawar kalau beli banyak.
Kalau ke Lampung dan belum makan duren rasanya tidak pas. Dipinggir jalan banyak sekali penjual duren yang katanya langsung diambil dari hutan. Kami pun berhenti. BUSET! ENAK BANGET! Tiga duren yang saya menemukan bahwa tiap-tiap duren memiliki karakternya masing-masing. Duren pertama masuk dalam kategori mengkel-pahit-manis. Duren kedua Agak basah-kuning-manis-pahit. Duren ketiga bechek-bechek-manis-pahit.
Edun!! Parah! Harga @7500 tapi masih bisa ditawar kalau beli banyak.
Setelah segala keriaan satu hari, refreshing di laut, desa, pantai, kuliner, kota kecil, maka saatnya kembali ke Jawa. Saya selalu suka dengan kota kecil.
Tapi ada sebuah pertanyaan yang selalu muncul dikepala saya : Bagaimana cara mengatasi kebosanan kalau tinggal di kampung? Saya sendiri sudah bosen duluan ketika melihat alur hidup yang lambat disana...
No comments:
Post a Comment